Jakarta.CBS
Tempe menjadi salah satu makanan yang populer di Indonesia. Hal itu bukanlah sesuatu yang mengherankan, sebab Indonesia merupakan produsen tempe terbesar di dunia.
Dalam laporan Badan Standardisasi Nasional (BSN) tahun 2012 disebutkan, posisi Indonesia sebagai produsen terbesar di dunia menjadikannya sebagai pasar kedelai terbesar di Asia.
"Indonesia merupakan negara produsen tempe terbesar di dunia dan menjadi pasar kedelai terbesar di Asia. Sebanyak 50% dari konsumsi kedelai Indonesia dijadikan untuk memproduksi tempe, 40% tahu, dan 10% dalam bentuk produk lain (seperti tauco, kecap, dan lain-lain)," bunyi laporan tersebut seperti dikutip Minggu (20/2/2022).
Dalam laporan Badan Standardisasi Nasional (BSN) tahun 2012 disebutkan, posisi Indonesia sebagai produsen terbesar di dunia menjadikannya sebagai pasar kedelai terbesar di Asia.
"Indonesia merupakan negara produsen tempe terbesar di dunia dan menjadi pasar kedelai terbesar di Asia. Sebanyak 50% dari konsumsi kedelai Indonesia dijadikan untuk memproduksi tempe, 40% tahu, dan 10% dalam bentuk produk lain (seperti tauco, kecap, dan lain-lain)," bunyi laporan tersebut seperti dikutip Minggu (20/2/2022).
Kala itu, konsumsi tempe rata-rata per orang per tahun di Indonesia diperkirakan mencapai sekitar 6,45 kg. Umumnya, masyarakat Indonesia mengkonsumsi tempe sebagai panganan pendamping nasi.
"Dalam perkembangannya, tempe diolah dan disajikan sebagai aneka panganan siap saji yang diproses dan dijual dalam kemasan. Kripik tempe, misalnya, adalah salah satu contoh panganan populer dari tempe yang banyak dijual di pasar," bunyi laporan tersebut lebih lanjut.
Dalam laporan itu juga disebutkan, industri tempe tidak hanya berkembang di Indonesia. Tempe juga diproduksi dan dijual di mancanegara. Dalam karya William Shurtleff dan Akiko Aoyagi, The Book of Tempeh: A Cultured Soyfood, dimuat bahwa tempe diproduksi di berbagai negara mulai dari Amerika Serikat, Kanada, Meksiko, Belgia, Austria, Republik Ceko, Finlandia, Prancis, Jerman, Irlandia, Italia, Belanda, Portugal, Spanyol, Swiss, Afrika Selatan, India, dan Inggris hingga Australia dan Selandia Baru.
"Dalam perkembangannya, tempe diolah dan disajikan sebagai aneka panganan siap saji yang diproses dan dijual dalam kemasan. Kripik tempe, misalnya, adalah salah satu contoh panganan populer dari tempe yang banyak dijual di pasar," bunyi laporan tersebut lebih lanjut.
Dalam laporan itu juga disebutkan, industri tempe tidak hanya berkembang di Indonesia. Tempe juga diproduksi dan dijual di mancanegara. Dalam karya William Shurtleff dan Akiko Aoyagi, The Book of Tempeh: A Cultured Soyfood, dimuat bahwa tempe diproduksi di berbagai negara mulai dari Amerika Serikat, Kanada, Meksiko, Belgia, Austria, Republik Ceko, Finlandia, Prancis, Jerman, Irlandia, Italia, Belanda, Portugal, Spanyol, Swiss, Afrika Selatan, India, dan Inggris hingga Australia dan Selandia Baru.
Sayang, meski Indonesia merupakan rajanya industri tempe, kedelainya masih tergantung pada impor. Direktur Jenderal Perdagangan Dalam Negeri Kementerian Perdagangan (Kemendag) Oke Nurwan menjelaskan, kebutuhan kedelai di tanah air 3 juta ton per tahun. Sementara, produksi dalam negeri hanya 20%.
"Kalau saya lihat dari data, kebutuhan kita 3 juta ton itu hanya bisa dipasok 20% dari dalam negeri. Dan bahkan untuk tahun ini dari BKP menyatakan, BKP itu Badan Ketahanan Pangan di Kementerian Pertanian, produsi kita itu hanya 10%, jadi 90% nya impor," terangnya.
Dengan tingginya angka impor, kata dia, membuat harga kedelai tidak bisa dikendalikan. "Jadi kedelai ini tergantung sepenuhnya pada produk impor yang harganya nggak bisa kita kendalikan," ujarnya.
Oke melanjutkan, Indonesia rata-rata mengimpor 2,6 juta ton kedelai. Sisanya, sekitar 400 ribu ton dipasok dari dalam negeri. Itu pun jika tidak terjadi penurunan produksi. (DtK).
"Kalau saya lihat dari data, kebutuhan kita 3 juta ton itu hanya bisa dipasok 20% dari dalam negeri. Dan bahkan untuk tahun ini dari BKP menyatakan, BKP itu Badan Ketahanan Pangan di Kementerian Pertanian, produsi kita itu hanya 10%, jadi 90% nya impor," terangnya.
Dengan tingginya angka impor, kata dia, membuat harga kedelai tidak bisa dikendalikan. "Jadi kedelai ini tergantung sepenuhnya pada produk impor yang harganya nggak bisa kita kendalikan," ujarnya.
Oke melanjutkan, Indonesia rata-rata mengimpor 2,6 juta ton kedelai. Sisanya, sekitar 400 ribu ton dipasok dari dalam negeri. Itu pun jika tidak terjadi penurunan produksi. (DtK).